#menubar{ width:900px; height:32px; background:#de360f; margin: 0 auto; } #menubar ul{ float:left; margin:0; padding:0; } #menubar li{ float:left; list-style:none; margin:0; padding:0; } #menubar li a, #menubar li a:link{ border-right:1px solid #F0512D; float:left; padding:8px 12px; color:#fff; text-decoration:none; font-size:13px; font-weight:bold; } #menubar li a:hover, #menubar li a:active, #menubar .current_page_item a { color:#ffa500; text-decoration:underline; } #menubar li li a, #menubar li li a:link, #menubar li li a:visited{ font-size: 12px; background: #de360f; color: #fff; text-decoration:none; width: 150px; padding: 0px 10px; line-height:30px; } #menubar li li a:hover, #menubar li li a:active { background: #F0512D; color: #ffa500; } #menubar li ul{ z-index:9999; position:absolute; left:-999em; height:auto; width:170px; margin-top:32px; border:1px solid ##F0512D; } #menubar li:hover ul, #menubar li li:hover ul, #menubar li li li:hover ul, #menubar li.sfhover ul, #menubar li li.sfhover ul, #menubar li li li.sfhover ul{ left:auto } #menubar li:hover, #menubar li.sfhover{ position:static }

Laman

Jumat, 04 Desember 2015

Seni Tayub di Kabupaten Blora

   Tayuban merupakan salah satu seni kebudayaan yang ada di Blora. Berdasarkan keterangan-keterangan yang dapat dikumpulkan, perkataan Tayuban berasal dari kata Tayub, yang menurut keroto boso adalah ringkasan dari kata "ditoto guyub" dan itu adalah bahwa didalam penyajian seni tayuban gerak tari para penari serta gending iringannya diatur bersama supaya serempak berdasarkan kesepakatan dari para pemain ( penari dan penabuh ) dengan para penonton. Sehingga terwujudlah suatu keakraban dan persaudaraan. Seni Tayuban menggambarkan penyambutan para tamu atau pimpinan yang dihormati oleh masyarakat menurut jenjang kepangkatan mereka masing-masing. Penyambutan itu oleh para pemain wanita yang disebut joget dengan cara menyerahkan sampur ( selendang yang dipakai penari wanita ) atas petunjuk pengarih. Tamu yang menerima sampur atau istilah "ketiban sampur" mendapatkan kehormatan untuk menari bersama-sama dengan joget.
      Asal-usul seni pertunjukan tayub di Kabupaten Blora diduga sudah ada sejak abad ke-15. Pada mulanya tayub merupakan sebuah tarian ritual yang dilangsungkan untuk upacara kesuburan pertanian. Upacara ini dilangsungkan pada saat mulai panen, dengan harapan pada musim tanam berikutnya hasil panen akan melimpah lagi.
  Didalam kelompok seni pertunjukan, tayuban dapat digolongkan tari rakyat tradisional, sifat kerakyatan sangat menonjol, tampak sebagai gambaran dari jiwa masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat pedesaan yang umum dijumpai diwilayah Kabupaten Blora, seperti sifat spontanitas, kekeluagaan, kesederhanaan, sedikit kasar, namun penuh rasa humor.
Sebagaimana ciri khas tari ini yang sudah memasyarakat, maka Tayuban sudah menyebar hampir seluruh Kabupaten Blora. Seni Tayuban pada umumnya dipentaskan pada upacara adat yaitu sedekah desa, sedekah bumi atau upacara adat lain. Juga pada orang punya kerja, memenuhi nadar, khitanan,perkawinan dan sebagainya.
    Transmisi seni pertunjukan tayub yang diterapkan menggunakan pendekatan mengajar dan belajar sambil bekerja, dengan melibatkan orang tua atau anggota komunitas tayub yang lebih tua sebagai pendidik dan anak-anak calon fledhek atau wurukan sebagai subjek didik. Transmisi secara tradisional seni pertunjukan tayub berlangsung dengan baik karena adanya unsur-unsur terkait
       Keberadaan seni pertunjukan tayub bagi kehidupan masyarakat Blora sangat penting bukan saja secara ekonomis, tetapi juga bermakna penting sebagai warisan tradisional, sarana interaksi sosial, dan sarana dalam kehidupan ritual. Di daerah Kabupaten Blora tarian tayub menggambarkan penyambutan para tamu atau pimpinan yang dihormati oleh masyarakat menurut jenjang kepangkatan mereka masing-masing. Penyambutan oleh penari wanita dengan menyerahkan selendang yang dipakai penari atas petunjuk pemimpin. Tamu yang menerima selendang mendapatkan kehormatan untuk menari bersama-sama dengan penari 

Jumat, 27 November 2015

Deskriminasi Etnis China pada orde Bar

Etnis Tionghoa merupakan etnis yang datang dari luar Indonesia. Tetapi etnis ini mempunyai sejarah yang panjang di Negara Indonesia ini. Bahkan, tidak sedikit etnis Tionghoa yang berjasa membawa Indonesia sampai sekarang ini. Etnis Tionghoa ada di Indonesia sudah mulai era pra-kolonial, dimana pada zaman kerajaan dahulu, banyak pedagang-pedagang China yang berdagang ke Indonesia. Sehingga tak heran jika semakin lama Etnis Tionghoa semakin banyak. Tetapi etnis Tionghoa yang dating ke Indonesia tidak menutup diri. Mereka berbaur dengan orang-orang penduduk asli/ pribumi. Sehingga semakin lama hal-hal yang bersifat sukuisme luluh dan tidak ada pembedaan antara penduduk pribumi dengan etnis Tionghoa.


Lebih-lebih pada zaman era pemerintahan orde lama, pada jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Selain itu Soekarno sangat akrab dan kental dengan ajaran komunis. Bahkan Soekarno pernah menerapkan politik (nasionalis, agama, komunis) NASAKOM di Indonesia yang berarti menggabungkan atau menyatukan orang-orang yang beraliran nasionalis, agama dan komunis di dalam negeri. Karena waktu itu di dalam negeri masih dalam era perjuangan mencari pengakuan kemerdekaan di kancah internasional, selain itu juga perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sehingga Soekarno pun berusaha mengikat semua golongan besar di Indonesia agar menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.
Tetapi sebenarnya apabila melihat konsep dari Nasionalis, agama itu mungkin masih bisa berjalan bersama, sedangkan apabila dengan komunis, hal ini sebenarnya sangat bertolak belakang. Karena komunis adalah ideologi dimana pada misinya ingin mengganti falsafah pancasila yang merupakan dasar bangsa Indonesia, di samping itu komunis juga sangat mengesampingkan agama, bahkan tidak percaya dengan adanya Tuhan (Atheis).
Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (waktu belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri dibelakang Republik Indonesia, orang Tionghoa pun mendapat sorakan khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan. Dari sini orang-orang China begitu sangat dihargai di Indonesia pada waktu itu karena dapat memberikan sedikit angin segar bagi Indonesia yang pada waktu itu memang sangat membutuhkan bantuan, baik moral maupun material.
Tetapi ternyata hal ini tak bertahan lama, hingga orde lama naik tahta, etnis Tionghoa pun mulai kelabakan mencari keadilan dan kesejahteraan seperti sedia kala. Apa yang membuat etnis Tionghoa di Indonesia pada era orde baru merasa tidak nyaman?
Masyarakat Tionghoa
Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang berasal dari China. Penggunaan istilah Tionghoa untuk pertama kali ditemui dalam nama perkumpulan yang didirikan pada tahun 1900, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan. Di Indonesia masyarakat Tionghoa dibagi menjadi yaitu masyarakat Tionghoa asli (totok), atau yang memang datang langsung dari China, sehingga masih kaku dan sulit berbahasa Indonesia dan berbudaya Indonesia. Kemudian yang kedua adalah masyarakat Tionghoa peranakan yang merupakan masyarakat Tionghoa keturunan, atau tidak langsung datang dari China. Sehingga sudah seperti rakyat Indonesia sendiri (penduduk pribumi). Tetapi, Tionghoa totok semakin lama semakin berkurang jumlahnya di Indonesia, karena semenjak kebijakan yang dilakukan oleh rezim orde baru terhadap masyarakat Tionghoa. Sehingga yang sekarang banyak di Indonesia adalah masyarakat Tionghoa peranakan/ keturunan.
Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa
Seperti kata pepatah bahwa kehidupan seperti roda yang berputar, ada kalanya di atas ada kalanya di bawah, ada kalanya berjaya, tapi ada pula kalanya sengsara. Mungkin itu yang dirasakan orang-orang Tionghoa pada masa orde baru.Masyarakat Tionghoa pada masa Orde baru mengalami hal yang sangat berbeda dengan pada masa orde lama. Pada masa orde baru masyarakat Tionghoa mengalami diskriminasi yang bisa dikategorikan diskriminasi ekstrim. Mereka begitu sengsara dengan kebijakan yang diberlakukan oleh orde baru pada masa itu terhadap orang-orang Tionghoa. Pada masa orde baru, banyak kebijakan yang sangat berbeda dengan rezim orde lama, dimana orde lama sangat memberi ruang bagi komunis. Sehingga etnis Tionghoa pun merasa dihormati tinggal di Indonesia. Sebaliknya, orde baru yang sangat menutup ruang komunis, bahkan membasmi habis apa yang dinamakan komunis. Sehingga apa yang berbau China dilarang, bahkan orang-orang Tionghoa harus mengubah nama dirinya, sebagai contoh Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Masyarakat Tionghoa sangat mengalami diskriminasi, baik di dalam bidang Politik, Sosial dan budaya. Hal ini sangat terlihat jelas dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967, Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Selain itu juga ada instruksi untuk mengganti nama klenteng menjadi wihara, agama Konghucu dilarang, merayakan imlek dan cap gomeh dilarang, bermain barongsai tidak boleh, belajar bahasa Tionghoa dilarang, masuk ke universitas pun di batasi jumlahnya, koran dan publikasi bahasa Tionghoa tidak diizinkan, hanya sebuah koran setengah Tionghoa yang diasuh oleh militer diizinkan terbit. Semua yang berhubungan dengan Tionghoa diidentikkan dengan China, kemudian yang berbau China dilarang dan harus menjadi Indonesia. Karena orde baru sangat menginginkan adanya masyarakat asing yang benar-benar menjadi murni orang Indonesia, dan yang paling menarik adalah pemerintahan orde baru masih sangat mengutamakan penduduk pribumi daripada masyarakat Tionghoa yang dirasa oleh rezim orde baru sebuah etnis di luar bangsa Indonesia.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataannya bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Dengan pernyataan yang seperti ini maka di Indonesia terjadi kelas penduduk, dimana masyarakat pribumi menjadi masyarakat kelas pertama dan masyarakat Tionghoa menjadi masyarakat nomor dua. Maka dengan adanya kelas ini, di semua aspek pun masyarakat Tionghoa selalu dinomor duakan di era orde baru.
Ada beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia yaitu :
• Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.
• Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
• Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
• Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
• Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
• Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina.
Konsep Bangsa (Nation)
Bhinneka Tunggal Ika adalah slogan bangsa Indonesia yang mampu menyatukan berbagai etnis dan budaya dari Sabang sampai Merauke. Tetapi ternyata hal ini tidak bisa untuk masyarakat Tionghoa yang merupakan etnis yang berasal dari luar. Menurut orde baru masyarakat Tionghoa harus melebur menjadi satu dengan pribumi, dengan cara merubah semua adat, bahkan keyakinannya. Sehingga hal ini sangat sulit diikat menjadi sebuah bangsa Indonesia. Karena lebih menitikberatkan pada aspek pribumi dan bukan pada budaya.Masyarakat Tionghoa yang masih melakukan budaya Tionghoa walaupun hanya sedikit tetap dianggap sebagai orang asing, dan dianggap bukan bangsa Indonesia. Banyak masyarakat Tionghoa yang kesulitan dalam hal ini, karena hal ini dirasa sangat memaksakan kehendak pemerintah orde baru kepada masyarakat Tionghoa agar bisa diakui menjadi sebuah bangsa yang sama dengan masyarakat pribumi. Padahal, melihat pada pemerintahan orde baru yang mengangkat Demokrasi Pancasila, dimana Demokrasi yang berdasar pada falsafah Pancasila, ternyata hal ini tidak sama dalam implementasinya. Slogan yang walaupun berbeda-beda tapi tetap satu jua, itu pun tak berlaku untuk masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia pada era orde baru.
Sebetulnya konsep bangsa Indonesia lahir sebelum Perang Dunia ke-2. Sejak bangkitnya pergerakan nasional Indonesia, konsep bangsa Indonesia masih didominasikan oleh konsep yang berbau ras. Baru setelah merdeka konsep bangsa lebih luas, bahkan masyarakat etnis Tionghoa pun dikategorikan masuk dalam bangsa Indonesia. Hal ini terbukti pada pidato Soekarno dalam Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Soekarno dalam pidatonya menekankan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, yaitu suku Jawa, suku Batak, suku Minang….dan suku peranakan Tionghoa. Bahkan, jika kita melihat sejarah ada lima tokoh yang berasal dari Tionghoa yang berjasa dalam Negara Indonesia. Kelima tokoh ini ikut serta dalam persiapan kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Kelima tokoh ini adalah Lim Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Tan Eng Hwa SH, Oei Tiang Tjoei dan Drs. Yap Tjwan Bing.
Peran yang Signifikan di Bidang Perekonomian
Pada era orde baru, seperti yang telah banyak kita tahu dari buku sejarah, Soeharto menerapkan kebijakan perekonomian yang ia beri nama dengan Trickle Down Effect. Dimana kebijakan perekonomian ini digagas oleh para ahli ekonomi seperti Emil Salim (biasa dikenal dengan mafia brekele), Suwitro Joyohadikusumo, dan juga ahli ekonomi lainnya. Gagasan ini pun diterima oleh Soeharto dan kemudian dilaksanakan dengan harapan kebijakan ini dapat berhasil dan membawa dampak yang besar bagi perekonomian Indonesia. Trickle Down Effect adalah sebuah kebijakan perekonomian yang diibaratkan sebuah cangkir yang terus diisi dengan air yang akhirnya meluap dan tumpah ke bawah mengarah kepada alas dari cangkir itu sendiri. Dalam bahasa sebenarnya dapat dikatakan bahwa orde baru member suntikan bantuan dana yang besar bagi pengusaha-pengusaha besar yang diharapkan dari usaha yang sudah besar akan menjadi semakin besar dan akhirnya mampu membuka lapangan pekerjaan yang luas dan mampu merekrut banyak rakyat Indonesia. Sehingga bisa mengurangi pengangguran di Indonesia.
Ternyata para pengusaha besar yang banyak di Indonesia adalah para orang-orang Tionghoa atau biasa disebut sebagai cukong (majikan) yang pada waktu itu terkena kebijkan yang bersifat diskriminatif dari orde baru. Para pengusaha itu diantaranya adalah Sudono Salim (Liem Sioe Liong) yang usahanya benar-benar terlihat berkembang pesat pada era orde baru, yaitu pada tahun 1968, PT. Mega milik Liem bersama-sama dengan sebuah perusahaan yang lain, PT Mercu Buana, memperoleh hak monopoli impor cengkeh. Selanjutnya, bersama seorang usahawan Hokchia yang lain, Liem mendirikan PT Bogasari Flour Mill yang kemudian berkembang menjadi produsen tepung terigu terbesar di Indonesia. Kemudian pengusaha besar Mochtar Riady (Li Wenzheng) yang merupakan orang Hinhua yang lahir di Jawa Timur yang kemudian bekerjasama dengan Liem untuk membeli saham BCA, bahkan Mochtar Riady (Li WenZheng) diberi kekuasaan untuk memegang tongkat eksekutif BCA. Kemudian pengusaha besar di era orde baru yang terkena suntikan kebijakan Trickle Down Effect adalah seorang pengusaha besar dari Tionghoa peranakan, yaitu Ciputra (Tjie Tjin Hwan), Ciputra adalah Presiden Direktur PT Pembangunan Jaya, sebuah konglomerat yang membawahi lebih dari 20 perusahaan yang terjun antara lain di bidang real estate, perdagangan baja, alumunium dan gas. Selain 3 pengusaha ini masih banyak pengusaha- pengusaha besar lain yang juga berasal dari Tionghoa seperti William Soeryajaya (Tjia Kian Liong), Eka Tjipta (Oei Ek Tjong), Hendra Rahardja (Tan Tjoe Hin), Surya Wonowidjojo (Tjoan Ing Hwie), Usman Admadjaja (Njauw Jouw Woe), dan Prayogo Pangestu (Phang Djun Phen). Semua ini adalah para pengusaha besar yang ada di Indonesia, dan yang ternyata sebagian besar adalah berasal dari kaum Tionghoa, hanya sedikit sekali yang berasal dari penduduk pribumi sendiri, semua pengusaha ini mendapat suntikan dana besar dari orde baru agar mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas dan akhirnya bisa mengurangi pengangguran di Indonesia.
Tetapi kebijakan Orde Baru itu ternyata gagal, air yang terus dikucurkan ke cangkir diharapkan cepat meluap ke luar cangkir ternyata tak juga meluap, bahkan cangkir menjadi semakin besar. Sokongan dana sudah digelontorkan begitu besar untuk mendanai usaha-usaha para pengusaha besar, ternyata tak juga menghasilkan lapangan pekerjaan yang luas dan tak juga mampu menyerap tenaga kerja yang besar yang seperti diharapkan oleh pemimpin orde baru dan para ahli ekonominya.padahal, pabrik-pabrik dan usaha dari para pengusaha-pengusaha tersebut semakin besar.
Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bukan tentang berhasil tidaknya kebijakan itu, tetapi adalah kepada siapa kebijakan itu diarahkan. Para masyarakat Tionghoa yang pada awalnya sangat didiskriminasikan oleh penguasa orde baru baik di bidang social, budaya dan agamanya, tetapi lama-kelamaan orde baru dalam mengarahkan kebijakan yang berkaitan masalah perekonomian malah bertumpu pada para pengusaha yang notabene-nya adalah berasal dari masyarakat Tionghoa. Jika dilihat dari perspektif itu, maka tidak salah jika kebijakan Trickle Down Effect yang digalakkan oleh Soeharto gagal, karena Soeharto bertumpu pada tumpuan yang dipinggirkan (didiskriminasikan) sebelumnya.